Karena Properti adalah Kebutuhan Primer
Kebutuhan terhadap properti atau papan, bersama sandang dan pangan termasuk kebutuhan primer manusia. Artinya setiap orang membutuhkan properti (tempat tinggal). Tanpa tempat tinggal orang tidak bisa hidup normal.
Sebenarnya, orang bisa menyewa properti terlebih dahulu jika memang tidak punya uang untuk membelinya. Tetapi dengan menyewa properti terus menerus sebagian uang mereka akan tersedot untuk membayar sewa yang umumnya naik tiap tahun.
Sayangnya lagi, mereka tidak ada peluang menikmati nilai ekonomis dari rumah yang disewanya tersebut.
Selain itu, orang bisa memenuhi kebutuhan propertinya dengan menumpang pada keluarga, baik keluarga langsung—rumah orang tua, rumah saudara, dan lain-lain—ataupun keluarga karena perbesanan (mertua), tetapi tentu saja berbeda rasanya tinggal di rumah sendiri dengan menumpang di rumah orang lain.
Bagi mereka yang tinggal menumpang, tentu mereka tidak ingin selamanya seperti itu. Bagi orang yang sudah berkeluarga yang masih tinggal menumpang di rumah orang tua, saudara, mertua atau orang lain pasti merasakan pahit getirnya. Pokoknya nggak enak deh tinggal numpang!.
Oleh karena itu, tidaklah heran ketika orang punya uang maka membeli rumahlah yang ia lakukan pertama kali, tentu saja mereka membeli rumah yang sesuai dengan kemampuannya.
Karena Properti Bisa Dijadikan Agunan Perbankan
Bank sangat menyukai agunan berupa properti karena legalitas dan fisiknya jelas dan bernilai. Legalitas properti dijamin undang-undang sedangkan secara fisik properti adalah benda tidak bergerak sehingga kreditur merasa aman karena properti tersebut tidak mungkin hilang fisiknya.
Berbeda halnya jika jaminannya berupa benda bergerak seperti mobil, kapal, mesin-mesin produksi dan lain-lain, dimana jaminan ini bisa saja hilang fisiknya.
Sementara nilai properti akan terlihat dari demand terhadap properti itu sendiri. Apalagi properti berada di lokasi yang permintaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyediaan, makin bernilailah properti tersebut di mata bank.
Bank Menyukai Agunan berupa Properti karena Jaminan Bisa Diuangkan
Alasan lainnya kenapa bank lebih suka memberi pinjaman dengan jaminan properti adalah karena jaminan tersebut bisa diuangkan. Enaknya lagi, mekanisme meng-uangkannyapun sudah diatur dalam Perjanjian Kredit (PK) sebagai amanat dari UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
Meng-uangkan jaminan yang debiturnya wanprestasi—tidak sanggup mencicil dan melunasi hutang—dapat dengan cepat dilakukan oleh bank karena bank punya kebijakan tentang nilai batas kredit (plafon) yang bisa diberikan terhadap suatu jaminan.
Dimana nilai batas kredit ini tergantung kepada peraturan pemerintah tentang Loan To Value (LTV)—bank syariah namanya Finance To Value (FTV). Dimana LTV/FTV adalah sebuah dasar atau metode yang digunakan untuk menentukan rasio pinjaman terhadap nilai aset yang dijadikan jaminan.
Dengan adanya aturan tentang LTV/FTV, maka nilai kredit yang bisa diberikan bank terhadap suatu jaminan harus lebih kecil dari nilai properti sebenarnya, sehingga penjualan properti secara cepat—apabila debitur wanprestasi—dapat dilakukan minimal sesuai dengan nilai plafon.
Dengan demikian bank bisa mendapatkan kembali uangnya dan terhindar dari kerugian. Bagaimana bank menetapkan nilai plafon kredit? Untuk menentukan nilai plafon bank bekerjasama dengan kantor jasa penilai (appraisal).
Hasil penilaian dari tenaga appraisal inilah yang menjadi patokan bagi bank untuk menentukan nilai properti.
Properti sebagai Agunan untuk Mengajukan KPR
Dalam hal pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), selain menilai objeknya, bank juga menilai kesanggupan membayar cicilan konsumen berdasarkan pemasukan keuangan tetap, seperti besarnya gaji atau melihat performance keuangan—bagi seorang wirausaha, selain tentu saja masih banyak yang menjadi pertimbangan bank, apalagi KPR yang diajukan jumlahnya besar.
Sebenarnya jika bisa memilih, bank lebih lebih suka hutang debitur dibayar sesuai dengan term yang disepakati dalam PK. Dengan demikian bank mendapatkan uangnya kembali berserta keuntungannya dan terhindar dari kredit macet atau Non Performing Loan (NPL).
Fungsi sebuah Perjanjian Kredit
Dalam hal pinjam-meminjam di bank, Perjanjian Kredit merupakan acuan bersama antara kreditur dan debitur, dimana dalam PK tersebut dicantumkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk sanksi jika debitur wanprestasi. Tak ketinggalan dalam PK juga dijabarkan apa saja langkah-langkah yang akan diambil oleh bank jika debitur wanprestasi.
Jika debitur wanprestasi, solusi yang biasa dicantumkan dalam PK adalah kreditur akan memberi waktu kepada debitur untuk melunasi hutang-hutangnya sampai beberapa lama waktu toleransi.
Teknisnya adalah kreditur memberikan Surat Peringatan (SP) kepada debitur sampai beberapa kali.
Dalam SP tersebut terdapat peringatan dan pemaksaan agar si debitur melunasi hutangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam PK.
Dalam banyak kasus pada umumnya solusi yang ditawarkan oleh kreditur adalah dengan menjual jaminannya secara mandiri terlebih dahulu.
Artinya debitur dipersilahkan menjual jaminan tersebut tanpa campur tangan kreditur, namun tetap dalam koridor koordinasi dengan bank, karena keperluan kreditur hanyalah piutangnya tertagih dan terhindar dari kerugian atau kredit macet.
Jika segala upaya penagihan hutang tidak berhasil maka bank akan melakukan upaya terakhir yaitu dengan menjual jaminan melalui lelang yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Dimana dalam pelaksanaannya, lelang bisa dilakukan oleh balai lelang swasta yang bekerjasama dengan kreditur dan KPKNL.
Bank Membutuhkan Masyarakat untuk Menyimpan dan Meminjam Uang
Pada dasarnya, sebuah bank adalah perantara antara orang yang membutuhkan uang dengan orang yang kelebihan uang.
Orang yang kelebihan uang menyimpan uangnya di bank sedangkan orang yang membutuhkan uang mengajukan pinjaman ke bank.
Bank dianggap sebagai lembaga terpercaya bagi nasabah untuk menyimpan dan mengelola uangnya karena operasional dan kebijakan sebuah bank diatur oleh undang-undang.
Nasabah yang menyimpan uangnya di bank akan mendapatkan keuntungan berupa bunga tabungan—pada bank syariah dinamakan bagi hasil.
Kemudian uang nasabah yang disimpan di bank tersebut dikelola oleh bank dalam bentuk memberikan pinjaman kepada nasabah lainnya dengan pengenaan bunga pinjaman.
Bank akan mendapatkan keuntungan karena bunga pinjaman jauh lebih besar daripada bunga tabungan. Itulah sekelumit tentang hubungan sederhana antara nasabah dan bank.
Nah, dari bahasan di atas kelihatan bahwa bank wajib membayar bunga terhadap uang nasabah yang dititipkan kepadanya dan uang untuk membayar bunga tabungan nasabah diperoleh dari bunga pinjaman nasabah lainnya (debitur). Itulah sistem operasional dari bank.
Jadi dari perspektif ini sebenarnya bank sangat berkepetingan memberi pinjaman kepada masyarakat. Tetapi walaupun begitu, dalam menyalurkan kredit, bank juga tidak gegabah.
Banyak hal yang menjadi pertimbangan bank dalam merealisasikan kredit kepada kreditur, salah satunya adalah jaminan atau agunan.
First Way Out dan Second Way Out
Tetapi sebenarnya bank dalam memberikan pinjaman kepada debitur tidak melulu melihat nilai jaminan, karena ada hal lain yang menjadi pertimbangan bank, seperti performa bisnis debitur atau kemampuan membayar debitur, inilai yang disebut dengan first way out. Sedangkan pilihan membayar hutang dengan memberdayakan jaminan (menjual) merupakan jalan keluar yang kedua—terakhir—atau second way out.
Karena Nilainya Naik Terus di Atas Suku Bunga Perbankan
Jika kondisi makro ekonomi normal, kenaikan harga properti biasanya diatas suku bunga perbankan. Di mana rerata kenaikan properti adalah 10%-20% pertahun bahkan ada yang lebih 100% pertahun.
Tentu saja jauh lebih tinggi dibanding suku bunga bank, baik dalam bentuk suku bunga tabungan atau deposito.
Pak Rifky Setiawan membeli sebidang tanah seluas 180 m2 di daerah Tebet, Jakarta Selatan kira-kira 7 tahun yang lalu. Harganya sekitar 3.000.000 rupiah per-meter persegi (m2).
Harga ini terhitung lebih murah dari harga pasar waktu itu yang sudah mencapai 4 juta rupiah per-m2. Kenapa bisa murah? Karena tanah tersebut belum bersertifikat saat dibelinya.
Awalnya dia ragu untuk membeli tanah tersebut karena takut terbelit masalah di kemudian hari karena pada umumnya masyarakat khawatir bahwa tanah yang belum bersertifikat rentan terhadap masalah atau gugatan hukum.
Untungnya dia pintar dalam mengurai masalah, ketika dia menerima penawaran dari broker tentang tanah ini, hal pertama yang dia lakukan adalah meminta fotokopi surat-surat tanahnya, walaupun belum bersertifikat.
Nah, surat-surat tanah tersebut dia bawa ke kantor Notaris untuk diperiksa sekaligus mendapatkan konsultasi gratis tentang langkah selanjutnya.
Saya katakan konsultasi gratis karena pada umumnya seorang Notaris tidak memungut biaya pada tahap awal jika ada klien yang akan bertransaksi.
Seorang Notaris tentu saja tahu dan paham tentang jenis-jenis alas hak tanah dan cara pengamanannya bagi pembeli jika tanah tersebut ditransaksikan, karena prinsip dalam jual beli adalah pembeli yang berniat baik harus dilindungi.
Setelah mendapatkan advice gratis dari Notaris, dia menjadi yakin untuk membeli tanah tersebut sekaligus dia menyampaikan kepada pemilik tentang persyaratan transaksi yang harus dipenuhinya.
Karena memang tanahnya tidak ada masalah atau sengketa, segala persyaratan transaksi dapat dipenuhi dengan mudah oleh si penjual sehingga transaksipun berjalan lancar.
Setelah transaksi selesai si pembeli sekaligus meminta Notaris mengurus sertifikat tanahnya ke kantor pertanahan dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama selesailah sertifikatnya.
Apa yang dia lakukan setelah itu terhadap tanahnya? Dia tidak melakukan apa-apa, dibiarkan saja tetap menjadi tanah kosong.
Dan saat ini harga tanah tersebut sudah mencapai 30 juta permeter persegi karena lokasinya yang sangat strategis dan berada di jalan yang bisa dilalui 2 mobil berpapasan.
Luar biasa bukan? Mari kita hitung berapa prosentase kenaikan harganya tiap tahun dibandingkan dengan uang tersebut disimpan di bank.
Harga pembelian tanah adalah 180 m2 dikalikan 3 juta rupiah sama dengan 540 juta rupiah. Setelah tujuh tahun harga tanahnya naik menjadi 30 juta per-meter persegi sehingga harganya menjadi 5,4 milyar rupiah.
Terdapat kenaikan harga sepuluh kali lipat atau 1000% selama 7 tahun atau 143% tiap tahunnya.
Bandingkan dengan jumlah uang yang didapat jika uang sejumlah 540 juta rupiah tersebut disimpan di bank. Anggaplah suku bunga simpanan adalah 4% maka dapat dihitung secara mudah bahwa selama tujuh tahun jumlah bunga yang didapat adalah 28%, sehingga jumlah uang yang didapat setelah 7 tahun adalah lebih kurang 691 juta rupiah.
Perhitungan hasilnya memang tidak persis seperti hitungan di atas karena bank menerapkan perhitungan bunga berbunga dan nilai bungapun berubah-ubah sesuai dengan peraturan pemerintah (Bank Indonesia), tapi nilainya tidak akan terlalu jauh berbeda, tidak akan melampaui hasil dari menabung dengan cara membeli properti bahkan mendekatinyapun tidak.
Sumber : Asriman.com